Selasa, 16 Juli 2013

Pengetahuan & Wawasan Islam

Orang Yang Paling Bersedih

Masuk ke taman orang yang mabuk keduniaan dan berjalan menyusuri jalan-jalan tersebut sangatlah mudah, tetapi keluar darinya sangat susah. Disisi lain, sakaratul-maut datang menyambut, membinasakan segala kesenangan di dunia dengan begitu cepatnya dan tiada disangka-sangka. Bila saja kita mengetahui dan meyakini apa yang terjadi setelah kematian niscaya tidak akan menganggap remeh arti kematian.
Al-Hasan rodhiyallohu anhu berkata, “Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan untuk taat dan Allah sendiri membantu kea rah itu. Allah juga melarang perbuatan maksiat dan membantu menumbuhkan perasaan enggan berbuat maksiat. Maka berbuatlah semampu antum untuk neraka, dan jangan jadikan itu sebagai alasan. (Az-Zahr Al-Faih)
Dua hal yang mampu memutuskan kelezatan dunia dari diri manusia adalah ingat kepada Allah Ta’ala dan ingat bagaimana kehidupan setelah kematian. Dan hamba Nya yang benar-benar meyakini kehidupan setelah kematian akan melakukan berbagai upaya yang disyariatkan Islam untuk memperoleh kelezatan yang hakiki di akhirat nanti.
Dan sangatlah merugi apabila kita termasuk dalam kategori yang pernah disampaikan oleh Sufyan Ats-Tsaury, “Orang yang paling menyesal di akhirat kelak ada tiga: Seseorang yang memiliki hamba yang kelak pada hari kiamat hamba tersebut membawa amal lebih baik darinya. Seseorang yang mempunyai harta, tidak menyedekahkannya lalu mati, kemudian orang lain yang mewarisinya dan bersedekah dengannya. Dan, seseorang yang berilmu tapi tidak bermanfaat, mengetahui orang lain yang sama-sama berilmu tapi bermanfaat.”
Dunia ini melepaskan anak panahnya kepada kita saat kondisi kita lemah dan serba terbatas. Kita menikmati kesenangan dengan rahmat yang Maha Menyayangi, Robb yang Maha Menyayangi dan Maha Pengampun Lagi Maha Mulia.
Yahya bin Mu’adz berkata,”Jika Allah mengampuniku maka Engkau adalah sebaik-baik penyayang namun jika Allah menimpakan siksa maka Engkau tidaklah Zalim” (Shifat Ash-Shafwah)
Semoga Allah Ta’ala menjadikan jalan kita di dunia ini berakhir pada surga And, dan semoga kita termasuk golongan orang yang mengumpulkan bekal di alam fana ini untuk alam yang penuh kenikmatan abadi dan perlindungan yang berkesinambungan.
Semoga Allah Ta’ala menyatukan kita semua pada lintasan rahmat-Nya dan semoga pula memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang tidak dirundung ketakutan dan kesedihan.


Orang yang takut (Khouf) kepada Alloh

Khouf adalah cambuk Alloh Subhanahu wa Ta’ala untuk menggiring hamba-hamba-Nya menuju ilmu dan amal agar mereka mendapatkan kedekatan dengan Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Khouf inilah yang mencegah dan menjahui setiap diri dari perbuatan maksiat dan mengikatnya dengan bentuk-bentuk ketaatan kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Ketika seorang hamba kekurangan khouf kepada Alloh, maka akan mengakibatkan ke-lupa-an dan keberanian untuk berbuat dosa. Dan Sebaliknya terlalu berlebihan dalam khouf akan menyebabkan putus asa-putus harapan.
Khouf kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala  bisa lahir dari ma’rifah kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala  dan ma’rifah kepada sifat-sifatNya. Khouf bisa juga lahir dari perasan banyaknya dosa yang telah diperbuat oleh seorang hamba. Juga terkadang khouf lahir dari keduanya.
Sesungguhnya yang alim itu hanyalah yang takut kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Hal itu karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: ”Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Alloh Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (QS. Fathir: 28)
Orang yang takut kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala bukanlah orang yang menangis dan bercucuran air matanya. Tetapi ia adalah orang yang meninggalkan perbuatan-perbuatan yang ia khawatirkan hukumannya.
Dzun Nun al-Mishriy pernah ditanya, “Kapankah seorang hamba itu takut kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala?” Ia menjawab, “Jika ia mendudukkan dirinya sebagai orang sakit yang menahan didi(dari berbagai hal) khawatir jika sakitnya berkepanjangan.”
Abul Qasim al-Hakim bertutur, “Siapa yang takut terhadap sesuatu ia akan lari darinya. Tetapi siapa yang takut kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala ia justru lari untuk mendekatinya.”
Fudlail bin ‘Iyadl berujar,”Jika kamu ditanya, ‘Apakah kamu takut kepada Alloh?’, maka diamlah, jangan menjawab! Sebab jika kamu jawab ‘ya’, kamu telah berdusta. Sedangkan jika kamu jawab ‘tidak’, maka kamu telah kafir!!!”
Khauf akan membakar syahwat yang diharankan, sehingga kemaksiatan yang dulu disukai menjadi di benci. Seperti madu, orang yang suka pun menjadi tidak suka jika tahu madu itu mengandung racun. Syahwat terbakar oleh khauf. Anggota badan pun jadi beradab. Dan hati pun diliputi rasa khusyu’ dan tenang, jauh dari kesombongan, iri, dan dengki. Bahkan ia mampunmenguasi segala kegundahan dan tahu bahayanya. Maka ia tidak pernah pindah kepada selainNya. Tiada lagi keibukannya selain usaha mendekatkan diri , muhasabah, mujahadah, dan memperhitungkan setiap desah nafas dan waktunya.
Ia selalu waspada terhadap segala pikiran, langkah, dan kalimat yang keluar dari dirinya. Keadaannya seperti dalam cengkeraman binatang buas. Ia tidak tahu apakah binatang itu lengah sehingga ia bisa melepaskan diri, atau sebaliknya ia justru menerkamnya maka hancurlah ia. Lahir dan batinnya disibukkan oleh sesuatu yang ia takutkan, tidak ada tempat bagi yang lain disana. Beginilah keadaan orang yang diliputi khauf
KEUTAMAAN KHAUF
Alloh Subhanahu wa Ta’ala menyediakan petunjuk, rahmat, ilmu, dan keridhoan bagi hamba yang khauf kepadaNya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami” (QS. Al-A’raf: 156)
“….. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada RabbNya” (QS. Al-Bayyinah: 8)
Alloh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan khauf, dan menjadikannya syarat iman. “……. Dan takutlah kalian kepadaKu, jika kalian benar-benar beriman.! (QS. Ali Imran: 175).
Yahya bin Mu’adz berkata, “Jika seorang mukmin melakukan suatu kemaksiatan, ia pasti menindaklanjutinya dengan salah satu dari dua hal yang akan menghantarkannya ke surga; takut akan siksa dan harapan akan ampunan.”
DALIL-DALIL TENTANG KHAUF

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut kepada Robb mereka. Dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Rabb mereka. Dan orang-orang yang tidak menyekutukan Rabb mereka (sesuatu pun). Dan orang-orang yang telah memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut,(karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka. Mereka itulah orang-orang yang bersegera untuk berbuat kebaikan, dan merekalah orang-orang yang pertama-tama memperolehnya.”
Imam Tirmidziy meriwayatkan, Aisyah berkata,” Aku pernah bertanya kepada Rasulullah tentang ayat ini, apakah yang dimaksud disini orang-orang yangmeminum arak, berzina dan mencuri?” Rasululloh saw menjawab, “Bukan begitu, wahai puti as-Shiddiq. Tetapi mereka orang-orang yang berpuasa, sholat, dan bersedekah. Mereka takut jika amalannya tidak diterima. Merekalah yang bersegera dalam kebaikan.” (Hadits shohih riwayat at-Tirmidiy Kitaabut-tafsir IX/19, al-Hakim at-Tafsir II/393 menyatakannya shohih dan disepakati oleh adz-Dzahabiy).
Abdullah bin as-Syikhiir meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika memulai sholat terdenagrlah dari dada beliau gemuruh seperti suara air yang mendidih dalam bejana.
Siapapun yang mencermati kehidupan para sahabat dan para salafus-sholih pasti akan mendapati betapa mereka berada di puncak khauf. Adapun kita, semuanya benar-benar lalai, alpa, dan merasa aman dari adzab.
Abu Bakr as-Shiddiq berkata, “Duhai, seandainya aku adalah sehelai rambut yang tumbuh di tubuh seorang mukmin.” Adalah beliau bila berdiri sholat, tak ubahnya seperti sebatang kayu (tidak bergerak) karena takut kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Umar bin Khatthab pernah membaca surat at-Thuur. Ketika sampai pada ayat yang artinya: “Sungguh, adzab Rabbmu pasti benar-benar terjadi” (QS. Ath-Thuur : 7)
Beliau menangis dan semakin menghebat tangis beliau sampai beliau sakit, dan orang-orang pun menjenguk beliau.
Adalah pada wajah beliau ada dua gais hitam lantaran banyak menangis. Kepadanya Abdullah bin ‘Abbas pernah berkata, “Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah meramaikan berbagai kota dan membukakan berbagai negri dengan tanganmu.” Mendengar itu Umar berkata, “Aku ingin kalau bisa meninggalkan dunia ini tanpa pahala dan tanpa dosa.”
Suatu pagi, seusai melaksanakan sholat shubuh, dengan bermuran durja dan membolak-balikkan telapak tangannya, ‘Ali bin Abu Thalib berkata, “Sungguh aku pernah melihat para sahabat Nabi. Pada hari ini aku tidak melihat sesuatu pun yang nenyerupai mereka. Di pagi hari mereka nampak kusut, pucat dan berdebu. Di antara dua mata mereka seperti ada lutut kambing. Mereka menghabiskan malam dengan bersujud dab berdiri membaca ayat-ayat Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Gerakan mereka hanyalah antara kening dan kaki. Bila pagi tiba mereka pun berdzikir kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, bergemuruh seperti pepohonan tertiup angin yang kencang. Mata mereka bercucuran air mata sampai-sampai pakaian mereka basah karenanya. Demi Alloh Subhanahu wa Ta’ala  hari-hari ini sepertinya aku menghabiskan malam bersama kaum ini dalam keadaanlalai.” Lantas beliau berdiri dan sejak itu beliau tidak pernah kelihata tertawa sampai dibunuh oleh Ibnu Muljam.
Musa bin Mas’ud berkisah, Kla kami bermajlis dengan Sufyan ats-Tsauriy, seakan-akan neraka ada di sekitar kami. Yang demikian itu karena kami melihat beapa takut dan khawatirnya ia.
Seseorang menggambarkan keadaan Hasan al-Bashriy, “jika ia datang, seakan-akan ia datang dari menguburkan teman karibnya. Jika ia duduk, seakan-akan ia adalah seorang tawanan yang akan dipenggal lehernya. Jika berbicara tentang neraka, seakan-akan neraka itu hanya diciptakan untuknya.
Zurarah bin Abu Aufa pernah mengimami orang-orang sholat shubuh. Beliau membaca surat al-Muddatstsir. Ketika sampai pada ayat, yang artinya: ”Apabila sangkakala telah ditiup. maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit” (QS. Al-Muddatstsir : 8-9)
Beliau terisak-isak dan lalu meninggal dunia. (lihat al-‘ibar,adz-Dzahabiy I/109).
Abdullah bin Amr bin ‘Ash bertutur, “Menangislah! Jika tidak bisa maka usahakan untuk menangis. Demi Alloh, jika salah seorang di antara kalian benar-benar mengerti, pastilah ia akan berteriak sekeras-kerasnya sampai hilang suaranya, dan akan sholat sampai patah tulang punggungnya.
(Dikutip dari: Tazkiyah an-Nafs, Oleh Al-Imam  Ibnu Qayyim al-Jauziyyah & Al-Imam Ibnu Rajab al-Hambali)

Tabahlah Menghadapi Musibah!

Alloh ‘Azza wa Jalla telah menetapkan takdir dan ajal seluruh makhluk-Nya, mengatur dan menentukan segala amal perbuatan serta tindak-tanduk mereka. Lalu Alloh ‘Azza wa Jalla membagi-bagikan rezeki dan harta duniawi kepada mereka. Alloh ‘Azza wa Jalla menciptakan kehidupan dan kematian sebagai ujian, siapa di antara mereka yang terbaik amalannya. Alloh ‘Azza wa Jalla juga menjadikan iman terhadap qadha dan takdir-Nya sebagai salah satu rukun iman. Setiap sesuatu yang bergerak atau berdiam di langit dan di bumi, pasti menuruti kehendak dan keinginan Alloh ‘Azza wa Jalla
Dunia ini sarat dengan kesulitan dan kesusahan, diciptakan secara fitrah untuk dipenuhi dengan beban dan ancaman, aral rintangan serta berbagai cobaan. Tak ubahnya dingin dan panas, yang memang harus dirasakan oleh para hamba-Nya. Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman yang artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)
Berbagai musibah itu adalah batu ujian, untuk menentukan siapa di antara hamba-Nya yang benar dan yang tidak benar. Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman yang artinya: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al-Ankabut: 2)
Jiwa manusia itu hanya dapat menjadi suci, setelah ditempa. Ujian dan cobaan, akan memperlihatkan kesejatian seseorang. Ibnul Jauzi mengungkapkan: “Orang yang ingin mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan abadi tanpa ujian dan cobaan, berarti ia belum mengenal ajaran Islam dan tidak mengenal arti pasrah diri kepada Alloh ‘Azza wa Jalla.”
Setiap orang pasti akan merasakan susah, mukmin maupun kafir. Hidup ini memang dibangun di atas berbagai kesulitan dan marabahaya. Maka janganlah seseorang membayangkan bahwa dirinya akan terbebas dari kesusahan dan cobaan. Cobaan adalah lawan dari tujuan dan memang bertentangan dengan angan-angan dan kesenangan menikmati kelezatan hidup. Setiap orang pasti merasakannya, walau dengan ukuran yang berbeda, sedikit atau banyak. Seorang mukmin diberi ujian sebagai tempaan baginya, bukan siksaan. Terkadang cobaan itu ada dalam kesenangan, terkadang juga ada dalam kesusahan. Alloh berfirman yang artinya: “Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran…” (QS. Al-A’raaf: 168)
Satu hal yang dibenci kadang mendatangkan kesenangan, satu hal yang disukai kadang mendatangkan kesusahan. Janganlah merasa aman dengan kesenangan, karena bisa saja ia menimbulkan kemudaratan. Janganlah merasa putus asa karena kesulitan, karena bisa jadi akan mendatangkan kesenangan. Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman yang artinya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Alloh mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Segala cobaan itu ada batasnya di sisi Alloh. Jangan mengucapkan kata-kata makian, karena satu kata yang mengalir dari lidah, dapat membinasakan seseorang. Seorang mukmin yang kuat akan tegar menghadapi beban berat. Hatinya tidak akan berubah dan lisannya tidak akan mengutuk. Redamlah musibah itu dengan mengingat janji pahala dan kemudahan dari Alloh, sehingga cobaan itu berlalu tanpa kita mengutukinya. Orang-orang berakal selalu menunjukkan ketegaran dalam menghadapi musibah, agar mereka tidak mendapatkan ejekan musuh-musuh mereka. Karena bila mereka menampakkan musibah itu, para musuh mereka akan merasa senang dan gembira. Sebaliknya, menutup-nutupi musibah dan derita kelaparan adalah sifat orang-orang mulia. Ketabahan akan membendung bencana. Demikian cepatnya bencana itu berlalu, bila dihadapi dengan ketabahan. Paling kita hanya harus tabah menghadapi hari-hari yang pendek dalam hidup kita. Orang-orang yang binasa mengalami kebinasaan mereka hanya karena mereka tidak memiliki ketabahan. Orang-orang yang tabah, akan mendapatkan pahala terbaik. Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 96). Dan Firman Alloh ‘Azza wa Jalla yang artinya: “Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kabaikan, dan sebagian dari apa yang kami rizkikan kepada mereka, mereka nafkahkan.” (QS. Al-Qashash: 54)
Alloh ‘Azza wa Jalla tidak pernah menahan sesuatu untukmu, wahai orang yang tertimpa musibah, melainkan karena Alloh akan memberimu sesuatu yang lain. Alloh hanya mengujimu, untuk memberikan keselamatan kepadamu. Alloh hanya memberimu cobaan, untuk membersihkan dirimu. Selama masih ada umur, rezeki pasti akan datang Firman Alloh ‘Azza wa Jalla yang artinya: “Tidak ada yang melata di bumi ini melainkan rezekinya ada di sisi Alloh.” (QS. Huud: 6)
Bila dengan kebijaksanaan-Nya, Alloh ‘Azza wa Jalla menutup sebagian rezeki, pasti Alloh akan membukakan pintu rezeki yang lain yang lebih bermanfaat. Cobaan, justeru akan mengangkat derajat orang-orang shalih dan meningkatkan pahala mereka.
Saad bin Abi Waqqash mengungkapkan: “Aku pernah bertanya, “Wahai Rasululloh! Siapakah orang yang paling berat cobaannya?” Beliau menjawab: “Para nabi, kemudian orang-orang shalih, kemudian yang sesudah mereka secara berurut menurut tingkat keshalihannya. Seseorang akan diberi ujian sesuai dengan kadar agamanya. Bila ia kuat, akan ditambah cobaan baginya. Kalau ia lemah dalam agamanya, akan diringkankan cobaan baginya. Seorang mukmin akan tetap diberi cobaan, sampai ia berjalan di muka bumi ini tanpa dosa sedikitpun.” (HR. Al-Bukhari)
Seorang ulama mengungkapkan: “Orang yang diciptakan untuk masuk Surga, pasti akan merasakan banyak kesulitan. Musibah yang sesungguhnya adalah yang menimpa agama seseorang. Sementara musibah-musibah selain itu merupakan jalan keselamatan baginya. Ada yang berfungsi meningkatkan pahala, ada yang menjadi pengampun dosa. Orang yang benar-benar tertimpa merana adalah mereka yang terhalang dari mendapatkan pahala.
Tidak usah risau dengan hilangnya sebagian dunia. Karena keberadaannya hanyalah satu kejadian, membicarakan dunia justeru menimbulkan kesedihan, jalan-jalan untuk mendapatkannya sarat dengan duka. Dalam mencari dunia, manusia akan tersiksa sebatas rasa dukanya. Orang yang senang mendapatkan dunia pada hakikatnya adalah orang yang sedih. Berbagai kepedihan bermunculan dari kenikmatan dunia. Berbagai kesedihan justeru lahir dari kesenangan dunia.
Abu Darda menyatakan: “Di antara bentuk kehinaan dunia di hadapan Alloh adalah bahwa manusia berbuat maksiat selama ia di dunia, dan ia hanya bisa menggapai apa yang ada di sisi Alloh dengan meninggalkan dunia. Maka hendaknya engkau menyibukkan diri dengan hal yang lebih berguna bagimu untuk mengambil kembali yang mungkin hilang darimu, yakni dengan cara memperbaiki kekeliruan, memaafkan kesalahan orang, dan mendekati pintu Ar-Rabb. Dengan itu, engkau akan melihat betapa cepatnya musibah yang menimpamu itu menghilang. Kalau bukan karena kesusahan, engkau tidak bisa mengharapkan saat-saat senang. Hilangkan hasrat terhadap yang menjadi milik orang, niscaya engkau akan menjadi yang terkaya. Jangan berputus asa, karena itu membawa kehinaan. Ingatlah nikmat Alloh yang banyak kepadamu. Tepislah segala kesedihan dengan ridha terhadap takdir dan dengan shalat di malam yang panjang. Bila sudah habis malam, masih ada subuh yang datang menjelang. Akhir kesedihan adalah awal kebahagiaan. Masa tidak akan berdiam dalam satu kondisi, namun terus berganti. Segala kesulitan, pasti akan berangsur hilang. Jangan putus asa hanya karena musibah yang datang bertubi-tubi. Satu kesulitan, akan dikalahkan oleh dua kemudahan. Merunduklah kepada Alloh, pasti kesulitanmu akan sirna selekasnya. Setiap orang yang penuh dengan ketabahan, pasti akan mendapatkan jalan keluar. ” wallohu a’lam.
(Sumber dari: buletin Darul Qasim, Riyadh, “ila ahlil masa’ib wal ahzan”, petikan khutbah Asy-Syaikh Dr. Abdul Muhsin Al-Qasim -imam dan khatib di Masjid Nabawi-)
Disalin dari: Arsip Moslem Blogs dan sumber artikel dari Media Muslim Info


Teman Sejati bukan Diukur Materi

Makkah mulanya adalah kota kecil yang sejak dulu dikenal sebagai kota transit perdagangan. Penduduknya dikenal sangat piawai berbisnis. Dari sini lahir beberapa konglomerat multinasional pada zamannya. Berkaitan dengan sukses usaha mereka, Alloh Azza wa Jalla telah mencatatnya dalam al-Qur’an, “Karena kebiasaan orang-orang Qurasy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas.” (QS. Al-Quraisy: 1-2)
Ada beberapa konglomerat yang sangat dikenal pada saat itu. Satu di antaranya adalah Khadijah, istri Rasululloh shallallahu alaihi wasalam sendiri. Modal Khadijah membengkak berlipat-ganda setelah perusahaannya dimanajeri oleh Pemuda Muhammad. Akhirnya kedua insan itu menikah. Lalu jadilah suami-istri ini dikenal luas sebagai pedagang yang sukses.
Selain Khadijah, ada lagi konglomerat sukses bernama Uqbah bin Abi Mu’ith. Ia dikenal sebagai pengusaha multinasional. Pada musim panas, ia berdagang ke negara-negara di sebelah utara (Syam). Sedangkan pada musim dingin, ia berdagang di negara-negara selatan (Yaman).
Sebagai bisnisman, Uqbah menjalin hubungan yang akrab dengan semua kolega dan relasinya. Untuk itu ia tak segan-segan untuk mengeluarkan biaya dari sakunya sendiri. Kadang mentraktir makan teman bisnisnya, tak jarang mengundang makan-makan dalam acara tasyakuran. Dalam acara ini biasanya ia mengundang para tokoh masyarakat, baik dari kalangan pengusaha maupun tokoh berpengaruh lainnya.
Dalam suatu perjamuan makan, Uqbah mengundang Rasululloh shallAllohu alaihi wasalam sendiri dalam kapasitasnya sebagai tokoh masyarakat yang berpengaruh. Kesempatan ini dimanfaatkan Rasululloh shallAllohu alaihi wasalam sendiri  untuk berdakwah. Ketika hidangan sudah tersedia, Rasululloh shallAllohu alaihi wasalam sendiri  berkata, “Wahai Uqbah, saya tidak akan makan hidangan anda sampai anda bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Alloh, dan saya adalah Rasul-Nya.” Secara spontan Uqbah menyanggupinya, dan tak lama kemudian ia mengucapkan dua kalimah syahadah di hadapan orang banyak. Uqbah telah masuk Islam.
Mengetahui keislaman Uqbah ini, teman-teman bisnisnya banyak yang terkejut. Salah satu di antaranya adalah Ubay bin Khalaf. Ia menanyakan kebenaran berita itu. Ia berkata, “Kamu sudah rusak, hai Uqbah.”
Apa jawab Uqbah? “Demi Alloh, aku tidak rusak. Aku lakukan hal itu karena pada perjamuan makan itu ada seorang tamu. Ia tidak mau menyentuh makananku sebelum aku bersaksi di hadapannya. Aku malu jika ada tamu yang keluar dari rumahku sementara ia belum memakan hidanganku.”
Memahami sikap koleganya seperti ini, Ubay malah memanfaatkan situasi. Ia katakan kepada Uqbah, “Aku tidak rela. Aku tidak ingin melanjutkan hubungan perdagangan ini denganmu sampai kamu menyatakan keluar dari agama Muhammad. Nyatakan hal itu di hadapannya. Caci maki dia di hadapan orang banyak. Satu lagi, ludahi wajahnya.”
Uqbah terkejut. Ia tidak menyangka jika kesaksiannya di hadapan Muhammad akan berakibat fatal seperti ini. Sebagai pebisnis tulen, ia hanya mau tahu keuntungan. Dalam kepalanya, semua kegiatannya dihitung berdasarkan untung rugi. Ia rela mengeluarkan biaya besar dalam acara tersebut tak lain bertujuan untuk menjalin relasi bisnis, yang ujung-ujungnya adalah laba bisnis. Rumus bisnis telah tertanam di kepalanya, yaitu mengeluarkan biaya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Orang semacam Uqbah ini pada dasarnya tidak mempunyai agama dan ideologi. Keuntungan itulah ideologinya. Ia tak pernah peduli apa agama yang dipeluk seseorang. Yang penting baginya adalah bisnisnya aman. Siapa saja yang bisa diajak bisnis dan menguntungkan, diajaknya berteman. Saudara dekatnya sendiri jika tidak bisa diajak bisnis tak akan diajak berteman. Dalam menjalin relasi ia tak peduli apakah seorang Nasrani, Yahudi, Majusi, atau Islam.
Setelah menghitung untung-ruginya secara matang, atas desakan Ubay, akhirnya ia menemui Rasululloh shallallahu alaihi wasalam. Di hadapan Rasululloh shallallahu alaihi wasalam sendiri ia menyatakan keluar dari Islam. Iapun mencaci-maki dan tak lupa meludahi wajah beliau yang suci. Atas perlakuan ini Rasululloh shallallahu alaihi wasalam bersabda, yang artinya: “Kelak engkau akan keluar dari Makkah dari bukit sebelah itu, dan aku akan menyambutmu dari bukit sebelah itu. Pada saat itu engkau menyesali perbuatanmu.” Dalam riwayat yang lain, ludahnya kembali ke wajahnya dan membakar pipinya. Luka bakar pipinya itu tak pernah sembuh sampai dibawa ke liang kuburnya.
Apa yang dikatakan Rasulullohshallallahu alaihi wasalam sendiri semuanya benar. Uqbah keluar dari Makkah, ikut perang Uhud. Dalam peperangan itu ia tertawan. Tangannya terbelenggu dan lehernya dipancung. Ia menyesal atas perlakuannya yang lebih memilih kawan bisnis daripada kawan yang sebenarnya. Agar peristiwa ini dijadikan ibrah dan pelajaran yang berharga bagi kaum muslimin, maka Alloh Azza wa Jalla mengabadikannya dalam sebuah firman-Nya, yang artinya: “Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zhalim menggigit dua tangannya, seraya berkata, ‘Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si Fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari al-Qur’an setelah al-Qur’an itu telah datang kepadaku.’ Dan adalah syetan itu tidak mau menolong manusia.” (QS. Al-Furqaan: 27-28)
Sejarah memang terus berulang. Apa yang terjadi saat ini sesungguhnya merupakan pengulangan sejarah masa lalu. Isi dunia dari dulu hinga sekarang tetap, tak mengalami perubahan. Yang pasti di dunia ini selalu ada dua hal yang berpasangan. Ada baik, ada buruk. Ada orang yang berwatak dan berakhlaq mulia, dan ada pula yang berwatak jahat. Itulah isi dunia.
Empat belas abad yang lampau sudah ada orang yang bernama Uqbah, yang ideologinya uang. Pada masa kini, prinsip Uqbah sudah beranak bercucu. Jumlahnya meningkat karena mengalami proses perkembangbiakan yang luar biasa.
Di saat materi menjadi isme, ajaran, dogma, dan nilai yang dijadikan sebagai alat ukur dan barometer keberhasilan seseorang, maka meteri menjadi sentral kehidupan. Secara berkelakar pernah seorang pakar dalam sebuah diskusi yang diliput 4 televisi swasta mengatakan, “Untuk sukses saat ini diperlukan 4 hal, yaitu: Satu, duit. Dua, uang. Tiga, fulus. Empat, money.”
Orang tidak lagi mengenal tetangga rumahnya, sebab persahabatan di dunia sekarang, utamanya di kota-kota besar hanya didasarkan pada uang. Teman, kenalan, sahabat bukan di rumah, tapi di kantor, di pasar, di gedung-gedung bertingkat.
Suatu ketika ada seorang meninggal dunia. Para tetangganya tidak tahu. Meskipun yang ikut merawat dan memakamkannya banyak, tapi semuanya adalah kolega kerjanya. Begitulah gambaran pergaulan manusia sekarang. Bila ada yang sakit, yang datang menjenguk bukan tetangga dekatnya, bukan pula saudaranya yang karena sibuk mencari uang mereka terpencar entah di mana. Yang datang menjenguk lagi-lagi adalah teman sekantor, teman sekerja, kolega usaha, paling jauh anggota jama’ahnya, itupun kalau ada.
Pertemanan yang didasarkan atas kepentingan ekonomi sebenarnya boleh-boleh saja. Rasululloh shallallahu alaihi wasalam tidak melarangnya. Akan tetapi jika pertemanan ini harus mengorbankan aqidah, syari’ah dan akhlaq, maka sebaiknya dihindari saja. Pertemanan semacam ini hanya membawa manusia kepada kebinasaan, kehancuran, dan kehinaan di sisi Alloh Azza wa Jalla. Tentang masalah pertemanan ini Alloh Azza wa Jalla telah memberikan bimbingan kepada kita melalui firman-Nya, yang artinya: “Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini, dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi: 28)
Kita dibebaskan untuk memilih teman, koneksi, kolega, baik secara pribadi-pribadi maupun secara institusi. Tapi satu hal yang pasti, hendaknya kita lebih memilih teman dan sahabat yang sejati, yang selalu mengajak kita menghadapkan wajah dan pikiran kepada Alloh Azza wa Jalla.
Boleh jadi berteman dengan mereka tidak mendatangkan keuntungan materi yang bisa dinikmati dalam jangka pendek, tapi bersama mereka kita akan meraih keuntungan besar dalam jangka panjang. Wallahu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar